Halaman

Powered By Blogger

Minggu, 09 September 2018

Ibu, Aku Hijrah

Semangat jomblo😝😜😋

Akan aku biarkan penyesalan demi penyesalan menghampiriku hingga habis tak tersisa. Agar ketika waktuku datang, aku telah disucikan dari dosa di masa lalu. Tak akan pernah cukup tangisku yang tiap hari menetes bagaikan hujan yang kadang gerimis dan terkadang lebat membanjiri telekungku saat menghadapNya. Ada yang mengatakan "Jangan bersedih, Allah maha pengampun lagi maha penyayang". Sungguh ini bukan tentang kesedihan, tapi bagaimana aku menjalani hari di tengah ribuan duri namun aku masih bisa tertawa bahkan berlumur dosa. Sedang sekarang, aku tepat sampai di tujuan. Namun, seolah disuguhi dengan kenangan lama dan ribuan penyesalan yang tak ada ujungnya. Hingga nafasku terhenti dan tidak lagi bersama bersama waktu yang dianggap orang sebagai uang, aku tetap akan berada pada kenangan itu. Kenangan yang mengajariku bahwa "Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya". Banyak orang yang mengatakan aku terlalu berlebihan, apakah salah berlebihan dalam mencintaiNya. Allah mencintaiku sedari aku kecil. Diberikan kepadaku kepintaran, paras yang menarik, sahabat yang baik, dan keluarga yang berkorban banyak untukku. Tapi, apa yang aku lakukan selama hidupku? Aku pacaran, aku menggosip, aku menyontek, aku menyakiti hati orang lain, dan bahkan membuat keluargaku terkadang kecewa.

Hidupku terlalu indah jika dibanding yang dulu. Ketika pertama kali aku kehilangan orang yang sangat aku sayangi, bahkan tempat aku menggantungkan ribuan harapanku di masa depan. Ya, dia IBUKU. Kau tahu? Saat menyebut "ibuku" hati ini menangis, menjerit, bahkan tak terkontrol. Aku sangat frustasi tapi selalu tak bisa menangis. Berbulan-bulan aku tak bisa menangis sepeninggal ibuku. Entah apa yang terjadi kepadaku. Yang aku tau ketika itu, aku hanya menangis karena terpaksa. Saudara kandungku menangis menjerit-jerit, tak mungkin aku hanya diam seolah bahagia ditinggalkan. Apa ada manusia yang bahagia ditinggalkan tempat dia bergantung hidup selama ini? Jikapun ada, jelas itu bukan aku. Aku ingin menangis, tapi tak bisa. Dan sebulan sepeninggal ibuku, aku tahu, aku sadar bahwa aku tidak menangis karena tidak percaya bahwa ibuku telah meninggal. Sebulan akhirnya aku belajar percaya, bahwa ibuku telah tiada. Ia tak lagi bersamaku. Ia tak lagi menyuci bajuku yang kotor setiap pulang sekolah. Ia tak lagi memintaku membantunya mencuci piring di dapur. Ia tak lagi membantuku meminta izin kepada abah untuk ikut kegiatan ekskul. Ia tak lagi ada.

Tepat 10 tahun ibuku meninggalkanku. Allah memberikan kesempatan untukku melihat dengan baik dan jelas kuburan ibuku. Tapi apa yang terjadi? Sesampaiku di sana. Aku benar-benar tidak bisa membaca Al-Quran untuk ibuku. Yang bisa kulakukan hanya menangis di depan makam ibuku. Tak bisa berkata apa-apa. Hanya menangis. Sedari sampai, hingga pulang menuju rumah, yang kulakukan hanya menangis dan meratap. Bukan aku tak ikhlas. Aku hanya tak percaya. Waktu berlalu begitu cepat. Ibuku meninggalkanku padahal ia adalah tempat satu-satunya aku menggantungkan harapan.

Akhirnya abahpun mampu menjadi ibu yang baik untukku. Aku telah S1 seperti keinginan ibuku walau di tempat yang berbeda dari keinginan ibuku. Ibu selalu ingin aku kuliah dengan jarak yang kapan saja bisa ia jangkau, karena aku tau pasti maksudny agar dapat mengontrol anaknya yang nakal. Yah aku memang nakal ketika kuliah, tapi nakalku karena baru menginjak masa pubertas yang selalu dirasakan orang ketika SMP. Sedang aku merasakan puber ketika kuliah. Tak apa sekiranya terlambat, yang penting aku selamat. Aku tak mengecewakan mereka. Bahkan kini hari-hariku akan dihiasi dengan tangis. Tangis bahagia, bahwa aku akan membalas cintaMu sepanjang hidup dan matiku. Tak akan lagi kecewa menjadi cerita dalam hijrahku.

Aku ikhlas dan aku pasrah akan ketentuanMu. Sekalipun nanti, keinginan hatiku tidak tercapai. Paling tidak, matiku dalam hijrah dan jihad. Aamiin