Halaman

Powered By Blogger

Jumat, 31 Oktober 2014

Antara Cinta, Rindu dan Benci

Ada yang hilang ketika itu. Iya hari ini kamu meninggalkanku . Kadang aku bingung dengan apa yang kamu lakukan, kamu memarahiku dengan meninggalkanku tanpa kabar. Namun marahmu itu selalu saja diselingi dengan pekerjaan dari kantor yang selalu membuatmu mumet. Aku simpulkan bahwa aku selalu tidak bisa membagi waktumu untuk bercanda dan serius.

Aku berani bersumpah, tak sekalipun aku berbuat salah untuk menyakitimu melainkan aku yang terlanjur sangat mencintaimu. Tapi apa dayaku, kamu pergi tanpa satupun sarana komunikasi yang bisa aku gapai untuk menghubungimu. Yahhh kali ini kita lose contact untuk yang kedua kali.

Aku selalu berusaha menahan tangis yang seperti memuncah memaksa aku untuk mengeluarkannya. Tapi rasanya terlalu naif juga bila aku mengatakan aku tidak menangis. Aku menangis dikala malam telah larut dengan gelapnya yang kian tak terkendali. Keheningan malam yang sangat aku takuti mencengkramku dengan erat, aku tak dapat membohongi hatiku. Aku menangis tersedu dibawah lampu kecil sembari menelungkupkan badanku diatas bantal kecil. Aku malu pada diriku sendiri. Aku menangisi seseorang yang sama sekali tidak menangisiku.

Dulu aku pernah berjanji untuk tidak jatuh cinta lagi, karena rasanya itu sangat sakit. Ketika orang yang aku sayang pergi meninggalkanku dengan mudahnya. Mungkin aku kurang baik untuk dapat saling mencintai. Tapi aku belum pernah sesetia ini. Saat bersamamu kutemukan setia dan pengorbanan. Dan ini indah walau akhirnya berakhir tidak indah dimataku.

Hari ini aku sadar aku berada diantara cinta, rindu dan benci. Aku cinta, bahkan sangat-sangat mencintaimu tapi apa yang kudapat dari cinta ini? hanyalah sakit melihat ditinggalkanmu. Aku rindu sangat-sangat rindu, tapi apa dayaku untuk menghubungimu? kamu delcon aku dari bbm kemudian mengalihkan setiap panggilanku dan mungkin telah meletakkan tiap pesanku dalam kotak spam. Dan terakhir Aku benci, karena setiap aku setia maka laki-laki itu akan meninggalkanku dengan sewenang-wenangnya.

Perih hatiku ditinggalkan begitu saja. Hanya karena aku mengajakmu bercanda, ingin melukis senyum indah dari wajahmu dengan cara membajak FBmu untuk menulis kisah lucu agar saat kamu membacanya kamu akan tertawa. Tapi yang ku dapat malah kamu memarahiku karena aku membajak FBmu, dengan alasan di FB ada saudaramu yang begitu banyak. Aku hanya ingin bercanda denganmu.

Aku gak mungkin juga membajak FBmu pak, bahkan yang aku hapal hingga satu tahun kita dekat baru kata sandimu saja. Emailmu tak sekalipun berbekas di ingatanku. Lagipula, kenapa kamu harus marah dengan canda kecilku yang berharap senyum kecilmu tercipta?

Begitu duka kah yang harus aku jalani hari ini? Apa tidak ada sedikit saja kasih yang bisa aku rasakan darimu? perih itu jadi cerita hari ini. Esok mungkin masih sama. But for after month, it's change.

Jumat, 17 Januari 2014

cerpen tentang hati

Bunga Mati                                                      Lisa...
Malam menghamparkan senyum indahnya pada bulan yang masih merenungi nasib manusia, yang hilir mudik berganti tentang nasib cintanya. Aku pun begitu masih menghitung berapa tetes perih yang baru ku lakoni dalam hidup ini. Aku hanya seutas tali yang kapan saja bisa putus saat bertemu pisau yang tajam. Tapi aku heran, hari ini aku bermain dengan pisau tajam namun masih belum putus juga aku pada peraduan ini.
Tugu pensil Tanjungpinang seakan jadi saksi tentang kisah cinta yang dulu indah. Entah kenapa suasana indah bagiku hanya tercipta di tempat itu, tempat dimana burung dan laut memadu kasih dalam hamparan langit yang megah mewarnai bumi. Namun kisahku telah mati. Empat hari sepi seakan merajuk memaksaku memujuknya untuk kembali bernyanyi dan bercerita.
Hariku yang pertama, telah ku niatkan memeram rasa sakit itu sampai ia masak di tempatnya berharap ada sedikit kebahagiaan yang bisa ku santap dari perih itu. Tapi aku salah, rasa itu seperti memakan usiaku sedikit dan mengangsur waktunya dalam diam. Aku membiarkannya berlalu bagai air yang menunjuk malunya pada batu-batu laut.
Akan kuceritakan kisah antara cinta tiga hati. Hanya karena perhatian aku melepasnya dalam diam. Tak kuceritakan tentang kisahku dengan laki-laki yang baru ku kenal padanya. Karena Dia pun seakan tak perduli denganku, hanya saat aku mulai jatuh di pangkuan cinta sesaat baru ia sadar aku telah menghilang di hadapannya saat itu.
Wanita tak selamanya mengharapkan materil dari pacarnya, sebagian bunga lebih suka diperhatikan dan dihujani dengan kasih sayang yang luar biasa daripada diberikan pupuk lalu dibiakan untuk setahun lamanya. Bunga itupun layu cinta dan kering rasa seketika. Tak ada yang mampu membuat bunga itu kembali kokoh seperti dulu, karena hanya waktu dan nasib yang akan menjawabnya setelah lukisan waktu berlalu
Hariku yang ke dua, tetesku masih bernyanyi  dan bercerita di tiap hamparan sepi dan waktu bel 12 berdenting keras dari sudut ruangan rumah. Terdengar gesekan kaki menghampiriku seakan ia tahu perihku, begitu hangat pelukan dalam matanya yang letih melihat perihku. Aku berbisik dalam pelukannya.
“Ibu, apa aku salah meninggalkannya?”
“Kamu sudah lebih tahu daripada ibu nak, kamu tahu segalanya. Sama seperti dia, hanya kalian membohongi perasaan sehingga goyah dan rapuh bersama rindu.”
“Tapi bu, kesalahan fatalnya takkan bisa ku maafkan. Aku mau menjadi cinta dari kasih sayangnya bukan dari nafsu dan emosinya. Sekarang dia terus mengharapkanku, dan aku harus membuat harapannya itu mati. Biar bunga ikut mati bersamanya walau harus dihakimi waktu.”
“lakukan apa yang ada di hatimu nak, waktunya tidur telah menjemputmu. Jangan biarkan ibu ikut bergadang bersama anak gadis ibu ini.”
Kecupan hangatnya  aku rasa seperti obat tidur penenang dari perihku dua hari ini. Sakit itu seperti merenggut dua tahun usiaku, waktu seakan berhenti berputar. Mati dalam resah, gelisah, rindu dan sesal yang tak berujung. Bungaku layu walau telah dirawat sendiri, tapi ternyata aku tak sanggup memberinya cinta seperti kumbangku nan lalu.
“Sayang, aku minta maaf. Ini salahku.” Decap kata perih ku ucap saat berbicara dalam telepon genggamku.
“Perih ini adalah maumu, maka aku menuruti inginmu dari perih ini. Pisahmu ku jabat kini.”
Tak ada helaan nafas, hanya diam dan tangisku yang mengiang memecah keheningan. Sesalku telah terlambat sudah.
Semakin hari semakin tak bersuara bungaku. Mekarnya layu, begitu helainya pun beriringan jatuh. Sungguh perih itu menjadi lara di batang tubuhnya yang semakin merajuk untuk berdiri gagah. Tak dapat dirasanya cinta dari hati ke tiga.
“Kau benar, aku lah pecundang”
Tangisku pun menjadi-jadi beriring ku ulang kata itu hingga tenang menyadarkan fatalnya salahku ini.

Jalan buntu, sakit beradu-adu, bungapun layu mengangsur waktunya mati tentang cinta. Cinta tak ku persalahkan, tapi diriku entah sampai kapan tak ku maafkan.

cerpen mawar putih

Mawar Putih                             karya : lisa
Aku membiarkanmu terlena dengan keindahannya yang tak selaras dengan apa yang kau pikirkan. Karena dulu, kusangat mengenali gadis itu, gadis yang telah tega merebut kekasih sahabatnya sendiri hanya demi popularitas yang ia anggap sangat penting menjadi orang terpamor di sekolah. Namun Aku membiarkanmu memujinya walau hatiku terasa perih tersiram duka kenangan lama yang tak bisa kulupakan begitu saja, begitu juga rasa yang tak bisa kubohongi padamu. Biarlah air di Kantin SMA ini ku teguk menghilangkan panas dahaga hati yang telah mendidih dan siap untuk pergi dari hidupmu. Yha . .!!Hari ini tepat 10 tahun usia persahabatan kita, kukira kau akan mengatakan hal yang telah kutunggu slama ini. Kata yang benar-benar membuat aku menjadi wanita terindah dalam hidup ini. Namun kenyataan yang sia-sia, sepertinya kataku takkan bersambut cintaku takkan terpaut. Entah kenapa aku jadi ingin marah tiap kau mendekatinya, menyapanya, apalagi menyebut kata indah yang selalu kuharap hanya tercipta untukku. Mungkin aku yang terlalu Geer ketika kamu peluk aku dan menangis setiap Ibumu menangisi kepergianAyahmu. Aku merasa kau menganggapku wanita teristimewa. Namun ternyata kau anggap aku hanya sebatas teman biasa, hanya sebatas sahabat  kecilmu saja.
Aku masih disini hari ini tepat usiamu yang ke 17 tahun. Ku bawakan setangkai mawar putih yang selalu kau bawakan tiap hari ulang tahunku. Aku pun tak menyangka hampir semua yang aku sukai pasti kamu suka juga. Harapku ini pertanda baik untuk hubungan kita. Tapi kenyataannya, ketika aku menginjakkan kaki dirumahmu, Dia wanita yang selalu kau ceritakan telah lebih dulu menjabat tanganmu dan memelukmu. Perih hati ku seperti merasuk kebola mata ini, namun ku tetap menujumu mengucapkan kata selamat untukmu berharap kau lebih mementingkanku daripada dia. Acara puncak ultahmu pun ternyata kau lebih memilih dia untuk berada disampingmu. Kau pegang tangannya dan kau ayunkan tanganmu untuk berdansa dengannya. Sedangkan aku seperti batu yang kau biarkan tegak menyendiri ditepi Ibumu. Hingga hatiku tak sanggup lagi menelan kehancuran itu, refleks ku berlari keluar karena derasnya air mata yang mulai tak bisa kukendali lagi. Ibumu pun hampir menarik tanganku dan terpaksa kumenatapnya hingga Ia terpaksa melepaskanku. Karena Ibumu tahu apa yang kurasakan saat ini. Air mata yang mengalir atas dasar cinta yang telah kupendam bertahun-tahun setelah dulu jua ku pernah dihancurkannya. Dan ini kali kedua wanita itu menghancurkan hatiku lagi. Sungguh tak kusangka hatimu lebih ikhlas melepasku dan membiarkanku yang telah lama menjadi sahabatmu. Ternyata cintamu lebih besar dari rasa sayang yang dulu kau ucap padaku. Tangis ini hanya akan jadi saksi yang tak bisa kau lihat sepanjang kenangan kita.  Penuh paras ini dengan lumuran ratapan kesedihan untuk meninggalkan rasa cinta. Tapi akan kuteguhkan melepasmu menjauh dari hidupmu.
Entah apa yang dikatakan Ibumu hingga pagi-pagi sekali kau datang bagai tamu yang tak diundang.Saat ku membuka mata, kudengar suaramu di tepi jendela kamarku. Namun kubiarkan kau mengetuknya tanpa jawaban dariku. Masih terasa perih cerita yang kau gores dalam catatanku. Mata ini pun masih terbius dengan kesedihan malam yang kuharap terakhir dan takkan kulihat lagi. Tidak akan ada kata jatuh cinta lagi hingga akhir nafasku. Ini janjiku untukmu, Cinta.
Aku langkahkan kaki ini keluar kamar kos kecilku. Aku pun duduk tanpa berfikir memanggilnya ditepi jendela itu. Aku tahu dia sangat mengenaliku. Setiap bangun tidur pasti aku akan duduk didepan teras meneguk segelas air teh bersamanya. Namun untuk hari ini hanya satu gelas teh yang kubuat. Karna hatiku masih terasa sesak dan sakit.
Semenjak rumah orangtuaku terjual aku hanya tinggal disebuah kos yang tak jauh dari rumah Farhan, sedangkan orangtuaku pindah dan tinggal di Jogja dengan usaha toko batik yang merupakan warisan turun temurun keluarga. Aku tetap disini karena Farhan, sahabat kecilku yang tidak pernah membiarkanku pergi dari kota ini. Ia selalu menangis tiap ayah dan ibu mengajakku pindah ke Jogja ketika kecil. Hal ini lah yang selalu membuat aku merasa dia menyukaiku dan sangat menyayangiku. Walau ternyata dia telah mungkin dimiliki yang lain.
Dari sudut kos Ia bersembunyi untuk mengagetkanku, itulah yang dilakukannya tiap pagi. Menggangu dan datang untuk menceritakan beribu kisahnya.
“Kamu marah ya?”
Kata itu yang Ia ucapkan tiap kusiapkan satu gelas air teh saja di atas meja, sedangkan aku hanya diam memandang bunga mawar putih yang kutanam bersamanya dulu.
Tak mau dibiarkan tanpa kata, ia pun memegang tangan ini dan menampar mukanya dengan tangan yang selalu ia tarik tiap pulang sekolah untuk mejadi teman curhat selama perjalanan pulang. Ia terus memaksaku bicara walau ku masih diam hingga hati ini tak tega memandangi mata kecilnya.
“Ada apa?” tegasku dengan nada sedikit tinggi.
Mungkin hanya kata itu yang bisa kuucap walau terasa berat dan mata ini pun enggan menatapnya.
“Kenapa pulang cepat tadi malam, padahal aku ingin mengucapkan empat kata untukmu.”
Kulepaskan tanganku yang digenggamnya dengan erat. Aku berdiri mengambil pipa air untuk menyiram taman depan kos yang mulai layu tak tersiram air hujan. Aku tak mau berharap dengan empat kata itu. Pasti Ia hanya ingin membuat hatiku bahagia walau ternyata tiada rasa untukku. Hanya kesenangan sesaat yang tak pernah kuinginkan dan kuingat lagi.
“Hei bebek, mau dengar gak?”
Ia terus menggodaku dan mengataiku. Hingga kupun seperti tergelitik dari kata kecilnya untuk tertawa.
“Gak mau, mending sini bantu nyiram bunga napa?”Aku mulai manja menyuruhnya seperti terlupa akan kisah semalam.
Ia tahu bagaimana watakku kalau sudah ngambek. Ia hanya mencoba menghibur atau mendiamkan agar kebisuan tercipta dan meminum air teh yang sudah ku minum juga menaruh kotoran cicak disamping gelas itu. Aku sangat trauma dengan kotoran cicak hingga ketika aku melihat kotoran itu refleks ku tolak meja kecil teras yang menimang segelas air teh dan pecah berderai di lantai. Tak sengaja ku menginjak pecahan itu, hanya darah yang kulihat. Hingga farhan langsung memelukku dan  tidak membiarkanku melihat darah itu. Ia tahu bahwa aku bisa pingsan berkali-kali setelah melihat darah. Aku memeluknya dengan sangat erat, aku benar-benar sangat takut melihat hal itu.
“ Udah lah, ni darahnya udah gak ada, mejapun ditolak. Dasar bebek sukanya ngambek !!”
“ Apa sih kamu ni, pasti kamu kan yang naruh kotoran cicak. Aku gak mau tau ya, kamu beresin semuanya.”Layaknya seorang bos,aku marah-marah dan menyuruhnya. Ia pun menjawab layaknya pelayan juga.
“siap tuan putri bebek.”
Aku tinggalkan dia membereskan pecahan kaca itu sendiri sedangkan aku masuk ke kamar mengambil kotak obat. Aku menjinjit kaki yang perih itu sendiri. Ia enggan membantuku agar aku meminta bantuan itu sendiri.
“Setelah beresin langsung obatin kakiku ya eeg.”
“Hemh namaku farhan lah bebek, bukan eeg. Nyesal ku datang jadi pembokat.”
Aku hanya tertawa mendengar kata-katanya tanpa berfikir untuk marah lagi setelah ia mengatakan kata itu.
Ia membersihkan kakiku dan menempel hansaplas dengan sangat keras hingga ku memekik kesakitan. Walau dia langsung menutup mulutku dengan tangannya. Dan akhirnya ia bercerita lagi tentang wanita itu walau sebenarnya tidak ada kata ia jadian dengan jesika wanita yang benar-benar tidak pernah punya perasaan itu. Aku hanya diam tanpa bertanya apa-apa, yang jelas ia hanya mengatakan jesika ternyata jago dansa berbeda denganku.
Aku sudah lama berhenti ikut sanggar tari apalagi untuk berdansa. Semua ini kulakukan semenjak jesika merebut semua yang aku suka. Biarlah takdir yang kan berkata dan menutup semua kejahatan yang udah dia lakuin.
Malam seperti siang hari yang kurasa detik ini, begitu jelas bulan penuh yang memancari setiap sisi. Hingga sepucuk mawar putih menjatuhkan sehelai mahkotanya dan seorang laki-laki menutup mata kecilku. Ku terus bertanya siapa dia walau ku tahu itu farhan bukan orang lain.
“empat kata dariku, maukah kau menjadi pacarku? Maukah putri bebek menjadi pasangan si’eeg?” aku tersenyum ketika Ia mencium jemari tanganku dan mengambil mahkota mawar putih yang telah jatuh ketanah. Lalu ia kecup keningku dan berkata “mawar ini telah jatuh pertanda ketika hari ultahku kamu nangis kan?”
“hemh palingan kamu tau dari ibu kamu kan?”
“iya deh putri bebek, yang pastinya aku mau kamu jadi pacar aku. Jesika hanya alat untuk aku buat kamu cemburu hingga nangis pulang sendiri. Dan ketika kamu nangis, aku ngeliat kamu kok, kamu mau pecahin pot mawar putih itu kan? Dasar putri bebek yang taunya ngambek aja.”
“ya pasti aku mau lah eeg.”
“hemh gak ada jual mahal ya kamu nih ditembak. Hei ketahuan nih pasti dari kecil kan sukanya ama aku.”

Dia terus saja menggodaku hingga malam terhabiskan dengan sejuta tawa dan impian yang sangat kunanti. Mawar putih tanda kasih suci cinta yang abadi tanpa kotoran kata yang menyelimuti. Menjadi saksi penebar suri indahnya hati.