Antara Cinta, Rindu dan Benci
Ada yang hilang ketika itu. Iya hari ini kamu meninggalkanku . Kadang aku bingung dengan apa yang kamu lakukan, kamu memarahiku dengan meninggalkanku tanpa kabar. Namun marahmu itu selalu saja diselingi dengan pekerjaan dari kantor yang selalu membuatmu mumet. Aku simpulkan bahwa aku selalu tidak bisa membagi waktumu untuk bercanda dan serius.
Aku berani bersumpah, tak sekalipun aku berbuat salah untuk menyakitimu melainkan aku yang terlanjur sangat mencintaimu. Tapi apa dayaku, kamu pergi tanpa satupun sarana komunikasi yang bisa aku gapai untuk menghubungimu. Yahhh kali ini kita lose contact untuk yang kedua kali.
Aku selalu berusaha menahan tangis yang seperti memuncah memaksa aku untuk mengeluarkannya. Tapi rasanya terlalu naif juga bila aku mengatakan aku tidak menangis. Aku menangis dikala malam telah larut dengan gelapnya yang kian tak terkendali. Keheningan malam yang sangat aku takuti mencengkramku dengan erat, aku tak dapat membohongi hatiku. Aku menangis tersedu dibawah lampu kecil sembari menelungkupkan badanku diatas bantal kecil. Aku malu pada diriku sendiri. Aku menangisi seseorang yang sama sekali tidak menangisiku.
Dulu aku pernah berjanji untuk tidak jatuh cinta lagi, karena rasanya itu sangat sakit. Ketika orang yang aku sayang pergi meninggalkanku dengan mudahnya. Mungkin aku kurang baik untuk dapat saling mencintai. Tapi aku belum pernah sesetia ini. Saat bersamamu kutemukan setia dan pengorbanan. Dan ini indah walau akhirnya berakhir tidak indah dimataku.
Hari ini aku sadar aku berada diantara cinta, rindu dan benci. Aku cinta, bahkan sangat-sangat mencintaimu tapi apa yang kudapat dari cinta ini? hanyalah sakit melihat ditinggalkanmu. Aku rindu sangat-sangat rindu, tapi apa dayaku untuk menghubungimu? kamu delcon aku dari bbm kemudian mengalihkan setiap panggilanku dan mungkin telah meletakkan tiap pesanku dalam kotak spam. Dan terakhir Aku benci, karena setiap aku setia maka laki-laki itu akan meninggalkanku dengan sewenang-wenangnya.
Perih hatiku ditinggalkan begitu saja. Hanya karena aku mengajakmu bercanda, ingin melukis senyum indah dari wajahmu dengan cara membajak FBmu untuk menulis kisah lucu agar saat kamu membacanya kamu akan tertawa. Tapi yang ku dapat malah kamu memarahiku karena aku membajak FBmu, dengan alasan di FB ada saudaramu yang begitu banyak. Aku hanya ingin bercanda denganmu.
Aku gak mungkin juga membajak FBmu pak, bahkan yang aku hapal hingga satu tahun kita dekat baru kata sandimu saja. Emailmu tak sekalipun berbekas di ingatanku. Lagipula, kenapa kamu harus marah dengan canda kecilku yang berharap senyum kecilmu tercipta?
Begitu duka kah yang harus aku jalani hari ini? Apa tidak ada sedikit saja kasih yang bisa aku rasakan darimu? perih itu jadi cerita hari ini. Esok mungkin masih sama. But for after month, it's change.
Jumat, 31 Oktober 2014
Jumat, 17 Januari 2014
cerpen tentang hati
Bunga
Mati Lisa...
Malam menghamparkan senyum indahnya pada bulan yang
masih merenungi nasib manusia, yang hilir mudik berganti tentang nasib
cintanya. Aku pun begitu masih menghitung berapa tetes perih yang baru ku
lakoni dalam hidup ini. Aku hanya seutas tali yang kapan saja bisa putus saat
bertemu pisau yang tajam. Tapi aku heran, hari ini aku bermain dengan pisau
tajam namun masih belum putus juga aku pada peraduan ini.
Tugu pensil Tanjungpinang seakan jadi saksi tentang
kisah cinta yang dulu indah. Entah kenapa suasana indah bagiku hanya tercipta
di tempat itu, tempat dimana burung dan laut memadu kasih dalam hamparan langit
yang megah mewarnai bumi. Namun kisahku telah mati. Empat hari sepi seakan
merajuk memaksaku memujuknya untuk kembali bernyanyi dan bercerita.
Hariku yang pertama, telah ku niatkan memeram rasa
sakit itu sampai ia masak di tempatnya berharap ada sedikit kebahagiaan yang
bisa ku santap dari perih itu. Tapi aku salah, rasa itu seperti memakan usiaku
sedikit dan mengangsur waktunya dalam diam. Aku membiarkannya berlalu bagai air
yang menunjuk malunya pada batu-batu laut.
Akan kuceritakan kisah antara cinta tiga hati. Hanya
karena perhatian aku melepasnya dalam diam. Tak kuceritakan tentang kisahku
dengan laki-laki yang baru ku kenal padanya. Karena Dia pun seakan tak perduli
denganku, hanya saat aku mulai jatuh di pangkuan cinta sesaat baru ia sadar aku
telah menghilang di hadapannya saat itu.
Wanita tak selamanya mengharapkan materil dari
pacarnya, sebagian bunga lebih suka diperhatikan dan dihujani dengan kasih
sayang yang luar biasa daripada diberikan pupuk lalu dibiakan untuk setahun
lamanya. Bunga itupun layu cinta dan kering rasa seketika. Tak ada yang mampu
membuat bunga itu kembali kokoh seperti dulu, karena hanya waktu dan nasib yang
akan menjawabnya setelah lukisan waktu berlalu
Hariku yang ke dua, tetesku masih bernyanyi dan bercerita di tiap hamparan sepi dan waktu
bel 12 berdenting keras dari sudut ruangan rumah. Terdengar gesekan kaki
menghampiriku seakan ia tahu perihku, begitu hangat pelukan dalam matanya yang
letih melihat perihku. Aku berbisik dalam pelukannya.
“Ibu, apa aku salah meninggalkannya?”
“Kamu sudah lebih tahu daripada ibu nak, kamu tahu
segalanya. Sama seperti dia, hanya kalian membohongi perasaan sehingga goyah
dan rapuh bersama rindu.”
“Tapi bu, kesalahan fatalnya takkan bisa ku maafkan.
Aku mau menjadi cinta dari kasih sayangnya bukan dari nafsu dan emosinya.
Sekarang dia terus mengharapkanku, dan aku harus membuat harapannya itu mati.
Biar bunga ikut mati bersamanya walau harus dihakimi waktu.”
“lakukan apa yang ada di hatimu nak, waktunya tidur
telah menjemputmu. Jangan biarkan ibu ikut bergadang bersama anak gadis ibu
ini.”
Kecupan hangatnya
aku rasa seperti obat tidur penenang dari perihku dua hari ini. Sakit
itu seperti merenggut dua tahun usiaku, waktu seakan berhenti berputar. Mati
dalam resah, gelisah, rindu dan sesal yang tak berujung. Bungaku layu walau
telah dirawat sendiri, tapi ternyata aku tak sanggup memberinya cinta seperti
kumbangku nan lalu.
“Sayang, aku minta maaf. Ini salahku.” Decap kata
perih ku ucap saat berbicara dalam telepon genggamku.
“Perih ini adalah maumu, maka aku menuruti inginmu
dari perih ini. Pisahmu ku jabat kini.”
Tak ada helaan nafas, hanya diam dan tangisku yang
mengiang memecah keheningan. Sesalku telah terlambat sudah.
Semakin hari semakin tak bersuara bungaku. Mekarnya
layu, begitu helainya pun beriringan jatuh. Sungguh perih itu menjadi lara di
batang tubuhnya yang semakin merajuk untuk berdiri gagah. Tak dapat dirasanya
cinta dari hati ke tiga.
“Kau benar, aku lah pecundang”
Tangisku pun menjadi-jadi beriring ku ulang kata itu
hingga tenang menyadarkan fatalnya salahku ini.
Jalan buntu, sakit beradu-adu, bungapun layu
mengangsur waktunya mati tentang cinta. Cinta tak ku persalahkan, tapi diriku
entah sampai kapan tak ku maafkan.
cerpen mawar putih
Mawar
Putih karya : lisa
Aku
membiarkanmu terlena dengan
keindahannya yang tak selaras dengan apa yang kau pikirkan. Karena dulu,
kusangat mengenali gadis itu, gadis yang telah tega merebut kekasih sahabatnya
sendiri hanya demi popularitas yang ia anggap sangat penting menjadi orang terpamor
di sekolah. Namun Aku membiarkanmu
memujinya walau hatiku terasa perih tersiram duka kenangan lama yang tak bisa
kulupakan begitu saja, begitu juga rasa yang tak bisa kubohongi padamu. Biarlah
air di Kantin SMA ini ku teguk menghilangkan panas dahaga hati yang telah
mendidih dan siap untuk pergi dari hidupmu. Yha . .!!Hari ini tepat 10 tahun
usia persahabatan kita, kukira kau akan mengatakan hal yang telah kutunggu
slama ini. Kata yang benar-benar membuat aku menjadi wanita terindah dalam
hidup ini. Namun kenyataan yang sia-sia, sepertinya kataku takkan bersambut
cintaku takkan terpaut. Entah kenapa aku jadi ingin marah tiap kau
mendekatinya, menyapanya, apalagi menyebut kata indah yang selalu kuharap hanya
tercipta untukku. Mungkin aku yang terlalu Geer
ketika kamu peluk aku dan menangis setiap Ibumu menangisi kepergianAyahmu. Aku merasa kau menganggapku
wanita teristimewa.
Namun ternyata kau anggap aku hanya sebatas teman biasa, hanya sebatas
sahabat kecilmu saja.
Aku
masih disini hari ini tepat usiamu yang ke 17 tahun. Ku bawakan setangkai mawar
putih yang selalu kau bawakan tiap hari ulang tahunku. Aku pun tak menyangka
hampir semua yang aku sukai pasti kamu suka juga. Harapku ini pertanda baik
untuk hubungan kita. Tapi kenyataannya, ketika aku menginjakkan kaki dirumahmu,
Dia wanita yang selalu kau ceritakan telah lebih dulu menjabat tanganmu dan
memelukmu. Perih hati ku seperti merasuk kebola mata ini, namun ku tetap
menujumu mengucapkan kata selamat untukmu berharap kau lebih mementingkanku
daripada dia. Acara puncak ultahmu pun ternyata kau lebih memilih dia untuk
berada disampingmu. Kau pegang tangannya dan kau ayunkan tanganmu untuk
berdansa dengannya. Sedangkan aku seperti batu yang kau biarkan tegak
menyendiri ditepi Ibumu. Hingga hatiku tak sanggup lagi menelan kehancuran itu,
refleks ku berlari keluar karena derasnya air mata yang mulai tak bisa
kukendali lagi. Ibumu pun hampir menarik tanganku dan terpaksa kumenatapnya
hingga Ia terpaksa melepaskanku. Karena Ibumu tahu apa yang kurasakan saat ini.
Air mata yang mengalir atas
dasar cinta yang telah kupendam bertahun-tahun setelah dulu jua ku pernah
dihancurkannya. Dan ini kali kedua wanita itu menghancurkan hatiku lagi.
Sungguh tak kusangka hatimu lebih ikhlas melepasku dan membiarkanku yang telah
lama menjadi sahabatmu. Ternyata cintamu lebih besar dari rasa sayang yang dulu
kau ucap padaku. Tangis ini hanya akan jadi saksi yang tak bisa kau lihat
sepanjang kenangan kita. Penuh paras ini
dengan lumuran ratapan kesedihan untuk meninggalkan rasa cinta. Tapi akan
kuteguhkan melepasmu menjauh dari hidupmu.
Entah
apa yang dikatakan Ibumu hingga pagi-pagi sekali kau datang bagai tamu yang tak
diundang.Saat ku membuka mata, kudengar suaramu di tepi jendela kamarku. Namun
kubiarkan kau mengetuknya tanpa jawaban dariku. Masih terasa perih cerita yang
kau gores dalam catatanku. Mata ini pun masih terbius dengan kesedihan malam
yang kuharap terakhir dan takkan kulihat lagi. Tidak akan ada kata jatuh cinta
lagi hingga akhir nafasku. Ini janjiku untukmu, Cinta.
Aku
langkahkan kaki ini keluar kamar kos kecilku. Aku pun duduk tanpa berfikir
memanggilnya ditepi jendela itu. Aku tahu dia sangat mengenaliku. Setiap bangun
tidur pasti aku akan duduk didepan teras meneguk segelas air teh bersamanya.
Namun untuk hari ini hanya satu gelas teh yang kubuat. Karna hatiku masih terasa
sesak dan sakit.
Semenjak
rumah orangtuaku terjual aku hanya tinggal disebuah kos yang tak jauh dari
rumah Farhan, sedangkan orangtuaku pindah dan tinggal di Jogja dengan usaha
toko batik yang merupakan warisan turun temurun keluarga. Aku tetap disini
karena Farhan, sahabat kecilku yang tidak pernah membiarkanku pergi dari kota
ini. Ia selalu menangis tiap ayah dan ibu mengajakku pindah ke Jogja ketika
kecil. Hal ini lah yang selalu membuat aku merasa dia menyukaiku dan sangat menyayangiku. Walau ternyata
dia telah mungkin dimiliki yang lain.
Dari
sudut kos Ia bersembunyi untuk mengagetkanku, itulah yang dilakukannya tiap
pagi. Menggangu dan datang untuk menceritakan beribu kisahnya.
“Kamu
marah ya?”
Kata
itu yang Ia ucapkan tiap kusiapkan satu gelas air teh saja di atas meja, sedangkan aku hanya diam
memandang bunga mawar putih yang kutanam bersamanya dulu.
Tak
mau dibiarkan tanpa kata, ia pun
memegang
tangan ini dan menampar mukanya dengan tangan yang selalu ia tarik tiap pulang sekolah untuk mejadi teman curhat selama perjalanan pulang.
Ia terus memaksaku bicara walau ku masih diam hingga hati ini tak tega
memandangi mata kecilnya.
“Ada
apa?” tegasku dengan nada sedikit tinggi.
Mungkin
hanya kata itu yang bisa kuucap walau terasa berat dan mata ini pun enggan
menatapnya.
“Kenapa
pulang cepat tadi malam, padahal aku ingin mengucapkan empat kata untukmu.”
Kulepaskan
tanganku yang digenggamnya dengan erat. Aku berdiri mengambil pipa air untuk
menyiram taman depan kos yang mulai layu tak tersiram air hujan. Aku tak mau
berharap dengan empat kata itu. Pasti Ia hanya ingin membuat hatiku bahagia
walau ternyata tiada rasa untukku. Hanya kesenangan sesaat yang tak pernah
kuinginkan dan kuingat lagi.
“Hei
bebek, mau dengar gak?”
Ia
terus menggodaku dan mengataiku. Hingga kupun seperti tergelitik dari kata kecilnya untuk tertawa.
“Gak
mau, mending sini bantu nyiram bunga napa?”Aku
mulai manja menyuruhnya seperti terlupa akan kisah semalam.
Ia
tahu bagaimana watakku kalau sudah ngambek.
Ia hanya mencoba menghibur atau mendiamkan agar kebisuan tercipta dan meminum
air teh yang sudah ku minum juga menaruh kotoran cicak disamping gelas itu. Aku
sangat trauma dengan kotoran cicak hingga ketika aku melihat kotoran itu refleks ku
tolak meja kecil teras yang menimang segelas air teh dan pecah berderai di lantai. Tak sengaja ku menginjak
pecahan itu, hanya darah yang kulihat. Hingga farhan langsung memelukku
dan tidak membiarkanku melihat darah
itu. Ia tahu bahwa aku bisa pingsan berkali-kali setelah melihat darah. Aku
memeluknya dengan sangat erat, aku benar-benar sangat takut melihat hal itu.
“
Udah lah, ni darahnya udah gak ada, mejapun ditolak. Dasar bebek sukanya
ngambek !!”
“
Apa sih kamu ni, pasti kamu kan yang naruh kotoran cicak. Aku gak mau tau ya,
kamu beresin semuanya.”Layaknya seorang bos,aku marah-marah dan menyuruhnya. Ia
pun menjawab layaknya pelayan juga.
“siap
tuan putri bebek.”
Aku
tinggalkan dia membereskan pecahan kaca itu sendiri sedangkan aku masuk ke kamar mengambil kotak obat. Aku
menjinjit kaki yang perih itu sendiri. Ia enggan membantuku agar aku meminta
bantuan itu sendiri.
“Setelah
beresin langsung obatin kakiku ya eeg.”
Aku
hanya tertawa mendengar kata-katanya tanpa berfikir untuk marah lagi setelah ia mengatakan kata itu.
Ia
membersihkan kakiku dan menempel hansaplas dengan sangat keras hingga ku
memekik kesakitan. Walau dia langsung menutup mulutku dengan tangannya. Dan
akhirnya ia bercerita lagi tentang wanita itu walau sebenarnya tidak ada kata
ia jadian dengan jesika wanita yang benar-benar tidak pernah punya perasaan itu.
Aku hanya diam tanpa bertanya apa-apa, yang jelas ia hanya mengatakan jesika
ternyata jago dansa berbeda denganku.
Aku
sudah lama berhenti ikut sanggar tari apalagi untuk
berdansa. Semua ini kulakukan semenjak jesika merebut semua yang aku suka. Biarlah
takdir yang kan berkata dan menutup semua kejahatan yang udah dia lakuin.
Malam
seperti siang hari yang kurasa detik ini, begitu jelas bulan penuh yang
memancari setiap sisi. Hingga sepucuk mawar putih menjatuhkan sehelai
mahkotanya dan seorang laki-laki menutup mata kecilku. Ku terus bertanya siapa
dia walau ku tahu itu farhan bukan orang lain.
“empat
kata dariku, maukah kau menjadi pacarku? Maukah putri bebek menjadi pasangan
si’eeg?” aku tersenyum ketika Ia mencium jemari tanganku dan mengambil mahkota
mawar putih yang telah jatuh ketanah. Lalu ia kecup keningku dan berkata “mawar
ini telah jatuh pertanda ketika hari ultahku kamu nangis kan?”
“hemh
palingan kamu tau dari ibu kamu kan?”
“iya
deh putri bebek, yang pastinya aku mau kamu jadi pacar aku. Jesika hanya alat
untuk aku buat kamu cemburu hingga nangis pulang sendiri. Dan ketika kamu
nangis, aku ngeliat kamu kok, kamu mau pecahin pot mawar putih itu kan? Dasar
putri bebek yang taunya ngambek aja.”
“ya
pasti aku mau lah eeg.”
“hemh
gak ada jual mahal ya kamu nih ditembak. Hei ketahuan nih pasti dari kecil kan
sukanya ama aku.”
Dia
terus saja menggodaku hingga malam terhabiskan dengan sejuta tawa dan impian
yang sangat kunanti. Mawar putih tanda kasih suci cinta yang abadi tanpa
kotoran kata yang menyelimuti. Menjadi saksi penebar suri indahnya hati.
Langganan:
Postingan (Atom)