Bunga
Mati Lisa...
Malam menghamparkan senyum indahnya pada bulan yang
masih merenungi nasib manusia, yang hilir mudik berganti tentang nasib
cintanya. Aku pun begitu masih menghitung berapa tetes perih yang baru ku
lakoni dalam hidup ini. Aku hanya seutas tali yang kapan saja bisa putus saat
bertemu pisau yang tajam. Tapi aku heran, hari ini aku bermain dengan pisau
tajam namun masih belum putus juga aku pada peraduan ini.
Tugu pensil Tanjungpinang seakan jadi saksi tentang
kisah cinta yang dulu indah. Entah kenapa suasana indah bagiku hanya tercipta
di tempat itu, tempat dimana burung dan laut memadu kasih dalam hamparan langit
yang megah mewarnai bumi. Namun kisahku telah mati. Empat hari sepi seakan
merajuk memaksaku memujuknya untuk kembali bernyanyi dan bercerita.
Hariku yang pertama, telah ku niatkan memeram rasa
sakit itu sampai ia masak di tempatnya berharap ada sedikit kebahagiaan yang
bisa ku santap dari perih itu. Tapi aku salah, rasa itu seperti memakan usiaku
sedikit dan mengangsur waktunya dalam diam. Aku membiarkannya berlalu bagai air
yang menunjuk malunya pada batu-batu laut.
Akan kuceritakan kisah antara cinta tiga hati. Hanya
karena perhatian aku melepasnya dalam diam. Tak kuceritakan tentang kisahku
dengan laki-laki yang baru ku kenal padanya. Karena Dia pun seakan tak perduli
denganku, hanya saat aku mulai jatuh di pangkuan cinta sesaat baru ia sadar aku
telah menghilang di hadapannya saat itu.
Wanita tak selamanya mengharapkan materil dari
pacarnya, sebagian bunga lebih suka diperhatikan dan dihujani dengan kasih
sayang yang luar biasa daripada diberikan pupuk lalu dibiakan untuk setahun
lamanya. Bunga itupun layu cinta dan kering rasa seketika. Tak ada yang mampu
membuat bunga itu kembali kokoh seperti dulu, karena hanya waktu dan nasib yang
akan menjawabnya setelah lukisan waktu berlalu
Hariku yang ke dua, tetesku masih bernyanyi dan bercerita di tiap hamparan sepi dan waktu
bel 12 berdenting keras dari sudut ruangan rumah. Terdengar gesekan kaki
menghampiriku seakan ia tahu perihku, begitu hangat pelukan dalam matanya yang
letih melihat perihku. Aku berbisik dalam pelukannya.
“Ibu, apa aku salah meninggalkannya?”
“Kamu sudah lebih tahu daripada ibu nak, kamu tahu
segalanya. Sama seperti dia, hanya kalian membohongi perasaan sehingga goyah
dan rapuh bersama rindu.”
“Tapi bu, kesalahan fatalnya takkan bisa ku maafkan.
Aku mau menjadi cinta dari kasih sayangnya bukan dari nafsu dan emosinya.
Sekarang dia terus mengharapkanku, dan aku harus membuat harapannya itu mati.
Biar bunga ikut mati bersamanya walau harus dihakimi waktu.”
“lakukan apa yang ada di hatimu nak, waktunya tidur
telah menjemputmu. Jangan biarkan ibu ikut bergadang bersama anak gadis ibu
ini.”
Kecupan hangatnya
aku rasa seperti obat tidur penenang dari perihku dua hari ini. Sakit
itu seperti merenggut dua tahun usiaku, waktu seakan berhenti berputar. Mati
dalam resah, gelisah, rindu dan sesal yang tak berujung. Bungaku layu walau
telah dirawat sendiri, tapi ternyata aku tak sanggup memberinya cinta seperti
kumbangku nan lalu.
“Sayang, aku minta maaf. Ini salahku.” Decap kata
perih ku ucap saat berbicara dalam telepon genggamku.
“Perih ini adalah maumu, maka aku menuruti inginmu
dari perih ini. Pisahmu ku jabat kini.”
Tak ada helaan nafas, hanya diam dan tangisku yang
mengiang memecah keheningan. Sesalku telah terlambat sudah.
Semakin hari semakin tak bersuara bungaku. Mekarnya
layu, begitu helainya pun beriringan jatuh. Sungguh perih itu menjadi lara di
batang tubuhnya yang semakin merajuk untuk berdiri gagah. Tak dapat dirasanya
cinta dari hati ke tiga.
“Kau benar, aku lah pecundang”
Tangisku pun menjadi-jadi beriring ku ulang kata itu
hingga tenang menyadarkan fatalnya salahku ini.
Jalan buntu, sakit beradu-adu, bungapun layu
mengangsur waktunya mati tentang cinta. Cinta tak ku persalahkan, tapi diriku
entah sampai kapan tak ku maafkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar