Halaman

Powered By Blogger

Jumat, 17 Januari 2014

cerpen tentang hati

Bunga Mati                                                      Lisa...
Malam menghamparkan senyum indahnya pada bulan yang masih merenungi nasib manusia, yang hilir mudik berganti tentang nasib cintanya. Aku pun begitu masih menghitung berapa tetes perih yang baru ku lakoni dalam hidup ini. Aku hanya seutas tali yang kapan saja bisa putus saat bertemu pisau yang tajam. Tapi aku heran, hari ini aku bermain dengan pisau tajam namun masih belum putus juga aku pada peraduan ini.
Tugu pensil Tanjungpinang seakan jadi saksi tentang kisah cinta yang dulu indah. Entah kenapa suasana indah bagiku hanya tercipta di tempat itu, tempat dimana burung dan laut memadu kasih dalam hamparan langit yang megah mewarnai bumi. Namun kisahku telah mati. Empat hari sepi seakan merajuk memaksaku memujuknya untuk kembali bernyanyi dan bercerita.
Hariku yang pertama, telah ku niatkan memeram rasa sakit itu sampai ia masak di tempatnya berharap ada sedikit kebahagiaan yang bisa ku santap dari perih itu. Tapi aku salah, rasa itu seperti memakan usiaku sedikit dan mengangsur waktunya dalam diam. Aku membiarkannya berlalu bagai air yang menunjuk malunya pada batu-batu laut.
Akan kuceritakan kisah antara cinta tiga hati. Hanya karena perhatian aku melepasnya dalam diam. Tak kuceritakan tentang kisahku dengan laki-laki yang baru ku kenal padanya. Karena Dia pun seakan tak perduli denganku, hanya saat aku mulai jatuh di pangkuan cinta sesaat baru ia sadar aku telah menghilang di hadapannya saat itu.
Wanita tak selamanya mengharapkan materil dari pacarnya, sebagian bunga lebih suka diperhatikan dan dihujani dengan kasih sayang yang luar biasa daripada diberikan pupuk lalu dibiakan untuk setahun lamanya. Bunga itupun layu cinta dan kering rasa seketika. Tak ada yang mampu membuat bunga itu kembali kokoh seperti dulu, karena hanya waktu dan nasib yang akan menjawabnya setelah lukisan waktu berlalu
Hariku yang ke dua, tetesku masih bernyanyi  dan bercerita di tiap hamparan sepi dan waktu bel 12 berdenting keras dari sudut ruangan rumah. Terdengar gesekan kaki menghampiriku seakan ia tahu perihku, begitu hangat pelukan dalam matanya yang letih melihat perihku. Aku berbisik dalam pelukannya.
“Ibu, apa aku salah meninggalkannya?”
“Kamu sudah lebih tahu daripada ibu nak, kamu tahu segalanya. Sama seperti dia, hanya kalian membohongi perasaan sehingga goyah dan rapuh bersama rindu.”
“Tapi bu, kesalahan fatalnya takkan bisa ku maafkan. Aku mau menjadi cinta dari kasih sayangnya bukan dari nafsu dan emosinya. Sekarang dia terus mengharapkanku, dan aku harus membuat harapannya itu mati. Biar bunga ikut mati bersamanya walau harus dihakimi waktu.”
“lakukan apa yang ada di hatimu nak, waktunya tidur telah menjemputmu. Jangan biarkan ibu ikut bergadang bersama anak gadis ibu ini.”
Kecupan hangatnya  aku rasa seperti obat tidur penenang dari perihku dua hari ini. Sakit itu seperti merenggut dua tahun usiaku, waktu seakan berhenti berputar. Mati dalam resah, gelisah, rindu dan sesal yang tak berujung. Bungaku layu walau telah dirawat sendiri, tapi ternyata aku tak sanggup memberinya cinta seperti kumbangku nan lalu.
“Sayang, aku minta maaf. Ini salahku.” Decap kata perih ku ucap saat berbicara dalam telepon genggamku.
“Perih ini adalah maumu, maka aku menuruti inginmu dari perih ini. Pisahmu ku jabat kini.”
Tak ada helaan nafas, hanya diam dan tangisku yang mengiang memecah keheningan. Sesalku telah terlambat sudah.
Semakin hari semakin tak bersuara bungaku. Mekarnya layu, begitu helainya pun beriringan jatuh. Sungguh perih itu menjadi lara di batang tubuhnya yang semakin merajuk untuk berdiri gagah. Tak dapat dirasanya cinta dari hati ke tiga.
“Kau benar, aku lah pecundang”
Tangisku pun menjadi-jadi beriring ku ulang kata itu hingga tenang menyadarkan fatalnya salahku ini.

Jalan buntu, sakit beradu-adu, bungapun layu mengangsur waktunya mati tentang cinta. Cinta tak ku persalahkan, tapi diriku entah sampai kapan tak ku maafkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar